Di sebuah pabrik tekstil di pinggiran kota, Andi, seorang buruh berusia 35 tahun, menjalani rutinitas hariannya. Setiap pagi, ia berangkat sebelum matahari terbit, menembus dinginnya pagi dengan sepeda tuanya. Pekerjaannya monoton, menjahit kain dari pagi hingga sore, hanya terhenti untuk makan siang sebentar. Namun belakangan ini, Andi merasa ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya.
Rutinitas yang dulu bisa ia jalani dengan biasa saja kini terasa sangat berat. Setiap pagi, tubuhnya terasa seperti ditarik ke bawah, berat dan enggan bangkit dari tempat tidur. Di tempat kerja, ia merasa sulit untuk berkonsentrasi, jarum jahit sering terlepas dari jemarinya yang gemetar. Rekan-rekan kerja mulai memperhatikan perubahan ini, tetapi Andi hanya tersenyum lemah dan mengatakan bahwa ia baik-baik saja.
Di rumah, keadaan tidak lebih baik. Istrinya, Siti, mulai khawatir dengan Andi yang sering termenung dan tidak lagi berbicara banyak. Anak-anaknya, yang masih kecil, juga merasakan ketegangan yang tidak mereka pahami. Andi sering merasa bersalah karena tidak bisa menjadi ayah dan suami yang baik.
Malam-malam Andi diwarnai dengan gelisah. Ia sulit tidur, pikirannya dipenuhi kekhawatiran tentang masa depan keluarganya. Pendapatannya sebagai buruh tidak cukup untuk memenuhi semua kebutuhan rumah tangga, apalagi dengan harga barang-barang yang terus naik. Kadang-kadang, ia merasa lebih baik jika tidak pernah bangun lagi dari tidurnya.
Suatu hari, setelah berbulan-bulan merasa tertekan, Andi akhirnya memutuskan untuk berbicara dengan Pak Budi, mandornya yang dikenal bijaksana. Di ruang kecil yang berfungsi sebagai kantor, Andi menceritakan semua yang ia rasakan. Pak Budi mendengarkan dengan seksama, tidak pernah menyela hingga Andi selesai berbicara.
"Mas Andi, saya paham apa yang kamu rasakan. Banyak di antara kita yang pernah merasakan hal yang sama," kata Pak Budi dengan suara tenang. "Depresi itu bukan sesuatu yang bisa kamu atasi sendirian. Kamu butuh bantuan."
Pak Budi lalu mengarahkan Andi untuk berbicara dengan seorang konselor yang sering bekerja dengan para buruh di pabrik itu. Dengan ragu-ragu, Andi setuju. Pertemuan pertamanya dengan konselor terasa aneh, tetapi seiring waktu, Andi mulai merasa nyaman. Ia belajar tentang cara-cara untuk mengelola stres dan kecemasan, dan mulai membuka diri lebih banyak kepada Siti dan anak-anaknya.
Meskipun prosesnya lambat, perlahan Andi mulai merasakan perubahan. Ia tidak lagi merasa begitu berat untuk bangun pagi, dan di tempat kerja, ia bisa kembali fokus pada pekerjaannya. Hubungannya dengan keluarga pun membaik. Andi menyadari bahwa meskipun hidup penuh tantangan, ia tidak sendirian dalam perjuangannya.
Cahaya di ujung lorong yang gelap mulai terlihat. Andi tahu perjalanan ini belum selesai, tetapi dengan dukungan dari orang-orang di sekitarnya, ia merasa lebih kuat dan mampu untuk terus maju.
Penulis : Muhammad Haikal Harahap
0 komentar:
Posting Komentar