Nama tokoh kita adalah Dika, seorang pemuda berusia 24 tahun yang sedang menempuh semester akhir di jurusan Teknik Informatika di sebuah universitas ternama. Di sisi lain, untuk membiayai kuliahnya dan membantu keluarganya, Dika bekerja paruh waktu sebagai asisten IT di sebuah perusahaan teknologi.
Dika selalu memulai harinya lebih awal daripada kebanyakan teman-temannya. Pukul 5 pagi, dia sudah bangun untuk menyelesaikan tugas kuliah yang tertunda. Setelah beberapa jam bekerja di depan laptop, dia bergegas untuk mempersiapkan diri ke kantor. Di perjalanan, dia sering kali merasa dadanya sesak dan jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya.
Setibanya di kantor pukul 8 pagi, Dika langsung tenggelam dalam tumpukan pekerjaan. Bosnya, Pak Anton, adalah tipe atasan yang menuntut kesempurnaan dan sering memberikan deadline yang ketat. Setiap kali Pak Anton mendekati mejanya, Dika merasa gugup dan khawatir apakah pekerjaannya akan diterima dengan baik atau tidak.
Tengah hari, ketika kebanyakan karyawan lain menikmati makan siang, Dika seringkali menyelesaikan tugas kantor sambil memikirkan presentasi proyek kuliahnya yang harus diselesaikan. Pikirannya tidak pernah tenang; selalu ada yang mengganjal, selalu ada yang membuatnya cemas
Selepas bekerja, Dika langsung menuju kampus. Di kelas, dia seringkali sulit berkonsentrasi. Perasaannya terus menerus dibayangi oleh kekhawatiran—apakah dia bisa lulus dengan nilai yang baik? Apakah dia bisa memenuhi ekspektasi dosen? Apakah dia bisa terus bekerja dengan baik di kantor? Pikiran-pikiran ini berputar seperti tornado di kepalanya.
Sepulang dari kampus pukul 9 malam, Dika biasanya masih harus mengerjakan tugas-tugas kuliah hingga larut malam. Rasa lelah sering kali mengalahkan semangatnya, namun rasa cemasnya lebih kuat. Dia takut jika tidak mengerjakan tugas dengan baik, nilai IPK-nya akan turun dan dia tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang layak setelah lulus
Akhir pekan yang seharusnya menjadi waktu untuk beristirahat justru dihabiskan Dika dengan menyelesaikan pekerjaan kantor yang dibawa pulang dan tugas-tugas kuliah yang menumpuk. Meskipun tubuhnya lelah, pikirannya tidak bisa berhenti berputar. Dia sering mengalami kesulitan tidur karena terlalu banyak hal yang dipikirkannya.
Suatu hari, di tengah presentasi proyek di kelas, Dika tiba-tiba merasa sesak napas dan pusing. Teman-temannya segera membawanya ke klinik kampus. Dokter di sana mengatakan bahwa Dika mengalami serangan kecemasan (anxiety attack) akibat tekanan yang berlebihan dari pekerjaan dan kuliah.
Dokter menyarankan Dika untuk mengambil cuti sementara dari pekerjaannya dan berkonsultasi dengan seorang psikolog. Awalnya, Dika merasa ini adalah tanda kelemahan, namun akhirnya dia menyadari bahwa kesehatan mentalnya jauh lebih penting.
Dengan bantuan psikolog, Dika belajar mengelola kecemasannya. Dia mulai mengatur jadwal yang lebih seimbang antara kuliah dan pekerjaan. Selain itu, dia juga mulai berlatih teknik relaksasi seperti meditasi dan pernapasan dalam. Perlahan-lahan, Dika mulai merasa lebih baik. Meskipun tantangan masih ada, Dika kini lebih mampu menghadapinya tanpa rasa cemas yang berlebihan.
Cerita Dika menggambarkan perjuangan banyak mahasiswa yang harus bekerja sambil kuliah. Tekanan dari kedua sisi bisa sangat berat dan dapat memicu masalah kesehatan mental seperti kecemasan. Penting untuk mencari bantuan dan dukungan saat merasa kewalahan, karena kesehatan mental adalah fondasi dari keberhasilan jangka panjang.
0 komentar:
Posting Komentar